Kita dapat berasumsi bahwa pembentukan sebuah negara akan mem-provokasi
pembentukan negara-negara lain. Hal ini adalah logika karena
individu-individu yang berada di luar negara tersebut merasa terancam
dan mereka akan berkelompok demi keamanan mereka. Akibatnya manusia
telah terpecah belah menjadi banyak negara (kelompok) dan manusia
menjadi asing dan ganas terhadap sesamanya.
Dengan perpecahan tersebut, manusia
tidak mempunyai hak umum dan kontrak sosial di antara mereka, jikalau
hak dan kontrak tersebut ada, negara-negara tersebut akan lenyap dan
menjadi anggota federasi dalam suatu negara besar. Keculai negara
(maha) besar ini ’merangkul’ seluruh umat manusia, negara ini kan
mengundang permusuhan dengan negara lainnya. Kalau kondisinya seperti
itu, perang akan menjadi hukum dan kebutuhan hidup umat manusia.
Setiap negara, apakah negara itu
mempunyai karakter federasi atau non federasi, mempunyai keharusan untuk
melahap negara lain, supaya ia tidak dilahap, memperbudak supaya tidak
diperbudak dan menguasai supaya tidak dikuasai.
Pada hakikatnya, setiap negara itu
mempunyai karakter bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Negara
menghancurkan solidaritas diantara manusia dan mempersatukan sebagian
manusia hanya untuk menghancurkan, menguasai dan memperbudak sebagian
lain manusia. Sebuah negara hanya melindungi warga negaranya, karena
negara itu tidak mengakui hak-hak orang lain diluar batas kekuasannya:
dan secara prinsipil, negara ini akan memperlakukan orang asing dengan
semena-mena. Kalau negara itu memperlakukan orang asing tersebut dengan
manusiawi, itu bukan karena kewajibannya: karena negara itu tidak
mempunyai kewajiban kepada siapa pun, tetapi kepada ’dirinya’ sendiri
dan warga negaranya, yang telah membentuknya.
Secara prinsipil, hukum internasional
tidak dapat diterapkan tanpa meng-kontradiksi dasar kekuasaan negara
yang absolut: bahwa sebuah negara tidak mempunyai kewajiban terhadap
orang asing. Kalau negara itu memperlakukan populasi yang dijajahnya
secara manusiawi, karena ia memperhitungkan konsekuensi politik atas
tindakannya, dan tidak pernah karena kewajibannya -karena ia mempunyai
hak yang absolut untuk memperlakukan orang asing semau- maunya.
Sekarang kita dapat melihat kontradiksi
antara nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip kekuasaan negara dengan jelas
sekali. Dalam sebuah negara, kekosongan nilai-nilai kemanusiaan dan
moralitas diisi dengan sebuah konsep, yaitu, ’patriotisme". Patriotisme
dapat kita kategorikan sebagai moralitas yang transenden, karena
patriotisme adalah suatu moralitas yang tidak dapat dijelaskan dengan
logika dan rationalitas. Umpamanya, merampok, menjajah, membunuh, bagi
seseorang yang bermoral adalah suatu tindakan kriminal yang ganas,
tetapi mungkin dilakukan oleh seorang patriotik.
Dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari, dan dari sudut pandang patriotisme, kalau tindakan-tindakan
tersebut dilakukan untuk membawa kebesaran bagi suatu negara dan untuk
memperbesar kekuasaan negara tersebut, semuanya adalah merupakan
kewajiban warga negara dan kelakuan yang terpuji. Setiap orang akan
dipastikan berbuat demikian tidak hanya terhadap orang asing tetapi juga
terhadap orang sebangsanya (umpamanya membunuh pengkhianat bangsa)
jikalau negara membutuhkannya untuk bertindak demikian.
Tujuan mutlak bagi setiap negara adalah
untuk memperjuangkan keberadannya dengan segala cara. Semua negara,
sejak dibentuk di muka bumi ini akan berjuang untuk selamanya (selama
negara itu masih berada) -berjuang melawan warga negaranya sendiri yang
telah ia aniaya dan hancurkan, berjuang melawan semua kekuatan asing.
Setiap negara hanya bisa kuat kalau yang lain lemah -akibatnya negara
tidak dapat meneruskan perjuangannya kecuali negara tersebut terus
menambah kekuatannya -untuk melawan warga negaranya dan negara-negara
lain.
Kesimpulannya prinsip kedaulatan suatu
negara adalah penambahan kekuatan yang akan menyebabkan penyekatan
kebebasan internal bagi warga negara dalam negara itu dan penyelewengan
keadilan di luar kekuasaan negara.
Penjelasam di atas adalah gambaran moral
dan tujuan suatu negara. Cara apapun yang dapat mencapai tujuan suatu
negara, dianggap benar dan terpuji. Negara adalah suatu institusi yang
mempunyai tujuan mutlak untuk memperjuangkan kedaulatannya selamanya,
semua orang harus tunduk dan melayani kepentingan negara tersebut.
Tindakan-tindakan yang menghambat tujuan suatu negara, dianggap
kriminal. Moralitas suatu negara adalah kebalikan dari keadilan dan
nilai-nilai krmanusiaan.
Setiap saat penyelenggara negara, dalam
menjalankan fungsi kenegaraan dan mempertahankan institusi negara,
dihadapkan kepada alternatif-alternatif yang amoral , hanya ada satu
jalan -bertindak secara munafik. Institusi negara bercakap dan
sepertinya berbuat dalam nama kemanusiaan, tetapi institusi ini
melanggar nilai- nilai kemanusiaan setiap hari. Tetapi kita tidak dapat
menyalahkan negara mengenai kecacatan karakternya itu. Institusi negara
tidak bisa berbuat sebaliknya, posisi negara mengharuskannya untuk
menjadi munafik- diplomasi tidak mempunyai maksud yang lain.
Jadi, apa yang kita lihat? Setiap negara
yang ingin berperang dengan negara lain, akan mulai dengan menyebarkan
manifesto kepada warga negaranya dan ke seluruh dunia. Dalam manifesto
itu, negara tersebut akan mengumumkan bahwa kebenaran dan keadilan
berada di sisinya, dan perang tersebut dilandasi cinta dengan
kemanusiaan dan kedamaian, dibubuhi sentimen-sentimen kedamaian yang
royal. Negara itu juga akan menyatakan kebenciannya terhadap kemenagan
materi dan menyatakan perang itu bukan untuk menambah kekuasaan (dan
perang akan diberhentikan secepat-cepatnya, kalau keadilan sudah
diraih). Musuh negara itu juga akan memberikan pernyataan yang sama.
Manifesto-manifesto yang berlawanan
antara kedua negara tersebut ditulis sama halusnya, mengandung
kandungan moralitas dan bobot ketulusan yang sama; dengan kata lain,
kedua-dua manifesto itu adalah jelas-jelas bohong. Orang-orang yang
berakal sehat, mereka yang mempunyai pengalaman dalam politik, tidak
akan membuang waktu membaca manifesto-manifesto itu, hanya orang tolol
yang akan mempercayainya. Sebaliknya, mereka akan menyelidiki
faktor-faktor yang mendorong kedua-dua negara tersebut untuk berperang,
dan mengira-nira kekuatan kedua-dua pihak dan menebak siapa yang akan
menang. Ini membuktikan bahwa perang seperti itu tidak mempunyai bobot
moral.
Perjanjian-perjanjian (protokol)
internasional yang mengatur hubungan antara negara-negara di dunia,
tidak mempunyai sangsi moral yang berarti. Dalam setiap babak sejarah,
perjanjian.protokol tersebut merupakan ekpresi keseimbangan
(equilibrium) kekuatan antara negara-negara, dan konsekuensi dari pada
ketegangan antar negara. Selagi negara-negara masih ada, kedamaian tak
akan tercapai. Hanya ada perdamaian temporer; jikalau sebuah negara
merasa cukup kuat untuk menghancurkan keseimbangan tersebut untuk
keuntungannya, negara itu tidak akan gagal menggunakan kesempatan ini.
Sejarah manusia telah membuktikan pernyataan di atas.
Ini menjelaskan kepada kita mengapa
sejak sejarah dimulai, sejak negara mulai dibentuk, dunia politik
menjadi pentas penipuan dan perampokan -penipuan dan perampokan yang
terpuji karena dilakukan atas nama patriotisme, moralitas transenden.
Ini menjelaskan mengapa seluruh sejarah negara kuno dan moderen,
tidaklah lebih dari rentetan tindakan kriminal yang memuakan; mengapa
raja-raja, dan seluruh aparatus negara (menteri, diplomat, birokrat dan
pahlawan) kalau diadili dari sudut pandang moralitas yang sebenarnya,
patut dihukum seberat-beratnya.
Tidak ada satupun dari
tindakan-tindakan seperti, teror, kekejaman, penipuan dan perampokan,
yang tak pernah dilakukan oleh aparatus negara (dan sampai sekarang
masih terus dilakukan), dengan alasan tidak lain dari "alasan
kenegaraan". Pada saat institusi negara mengeluarkan "suara", semua
bungkam,: harga diri, kejujuran, keadilan, hak asasi dan belas kasih,
hilang, bersama dengan logika dan akal sehat; hitam jadi putih dan
sebaliknya; kejahatan dan tindakan kriminal yang ganas dianggap sebagai
perbuatan yang terpuji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar