Minggu, 03 Juni 2012

IMORALITAS NEGARA Mikhail Bakunin

Kita dapat berasumsi bahwa pembentukan sebuah negara akan mem-provokasi pembentukan negara-negara lain. Hal ini adalah logika karena individu-individu yang berada di luar negara tersebut merasa terancam dan mereka akan berkelompok demi keamanan mereka. Akibatnya manusia telah terpecah belah menjadi banyak negara (kelompok) dan manusia menjadi asing dan ganas terhadap sesamanya.
Dengan perpecahan tersebut, manusia tidak mempunyai hak umum dan kontrak sosial di antara mereka, jikalau hak dan kontrak tersebut ada, negara-negara tersebut akan lenyap dan menjadi anggota federasi dalam suatu negara besar. Keculai negara (maha) besar ini ’merangkul’ seluruh umat manusia, negara ini kan mengundang permusuhan dengan negara lainnya. Kalau kondisinya seperti itu, perang akan menjadi hukum dan kebutuhan hidup umat manusia.
Setiap negara, apakah negara itu mempunyai karakter federasi atau non federasi, mempunyai keharusan untuk melahap negara lain, supaya ia tidak dilahap, memperbudak supaya tidak diperbudak dan menguasai supaya tidak dikuasai.
Pada hakikatnya, setiap negara itu mempunyai karakter bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Negara menghancurkan solidaritas diantara manusia dan mempersatukan sebagian manusia hanya untuk menghancurkan, menguasai dan memperbudak sebagian lain manusia. Sebuah negara hanya melindungi warga negaranya, karena negara itu tidak mengakui hak-hak orang lain diluar batas kekuasannya: dan secara prinsipil, negara ini akan memperlakukan orang asing dengan semena-mena. Kalau negara itu memperlakukan orang asing tersebut dengan manusiawi, itu bukan karena kewajibannya: karena negara itu tidak mempunyai kewajiban kepada siapa pun, tetapi kepada ’dirinya’ sendiri dan warga negaranya, yang telah membentuknya.
Secara prinsipil, hukum internasional tidak dapat diterapkan tanpa meng-kontradiksi dasar kekuasaan negara yang absolut: bahwa sebuah negara tidak mempunyai kewajiban terhadap orang asing. Kalau negara itu memperlakukan populasi yang dijajahnya secara manusiawi, karena ia memperhitungkan konsekuensi politik atas tindakannya, dan tidak pernah karena kewajibannya -karena ia mempunyai hak yang absolut untuk memperlakukan orang asing semau- maunya.
Sekarang kita dapat melihat kontradiksi antara nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip kekuasaan negara dengan jelas sekali. Dalam sebuah negara, kekosongan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas diisi dengan sebuah konsep, yaitu, ’patriotisme". Patriotisme dapat kita kategorikan sebagai moralitas yang transenden, karena patriotisme adalah suatu moralitas yang tidak dapat dijelaskan dengan logika dan rationalitas. Umpamanya, merampok, menjajah, membunuh, bagi seseorang yang bermoral adalah suatu tindakan kriminal yang ganas, tetapi mungkin dilakukan oleh seorang patriotik.
Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dan dari sudut pandang patriotisme, kalau tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk membawa kebesaran bagi suatu negara dan untuk memperbesar kekuasaan negara tersebut, semuanya adalah merupakan kewajiban warga negara dan kelakuan yang terpuji. Setiap orang akan dipastikan berbuat demikian tidak hanya terhadap orang asing tetapi juga terhadap orang sebangsanya (umpamanya membunuh pengkhianat bangsa) jikalau negara membutuhkannya untuk bertindak demikian.
Tujuan mutlak bagi setiap negara adalah untuk memperjuangkan keberadannya dengan segala cara. Semua negara, sejak dibentuk di muka bumi ini akan berjuang untuk selamanya (selama negara itu masih berada) -berjuang melawan warga negaranya sendiri yang telah ia aniaya dan hancurkan, berjuang melawan semua kekuatan asing. Setiap negara hanya bisa kuat kalau yang lain lemah -akibatnya negara tidak dapat meneruskan perjuangannya kecuali negara tersebut terus menambah kekuatannya -untuk melawan warga negaranya dan negara-negara lain.
Kesimpulannya prinsip kedaulatan suatu negara adalah penambahan kekuatan yang akan menyebabkan penyekatan kebebasan internal bagi warga negara dalam negara itu dan penyelewengan keadilan di luar kekuasaan negara.
Penjelasam di atas adalah gambaran moral dan tujuan suatu negara. Cara apapun yang dapat mencapai tujuan suatu negara, dianggap benar dan terpuji. Negara adalah suatu institusi yang mempunyai tujuan mutlak untuk memperjuangkan kedaulatannya selamanya, semua orang harus tunduk dan melayani kepentingan negara tersebut. Tindakan-tindakan yang menghambat tujuan suatu negara, dianggap kriminal. Moralitas suatu negara adalah kebalikan dari keadilan dan nilai-nilai krmanusiaan.
Setiap saat penyelenggara negara, dalam menjalankan fungsi kenegaraan dan mempertahankan institusi negara, dihadapkan kepada alternatif-alternatif yang amoral , hanya ada satu jalan -bertindak secara munafik. Institusi negara bercakap dan sepertinya berbuat dalam nama kemanusiaan, tetapi institusi ini melanggar nilai- nilai kemanusiaan setiap hari. Tetapi kita tidak dapat menyalahkan negara mengenai kecacatan karakternya itu. Institusi negara tidak bisa berbuat sebaliknya, posisi negara mengharuskannya untuk menjadi munafik- diplomasi tidak mempunyai maksud yang lain.
Jadi, apa yang kita lihat? Setiap negara yang ingin berperang dengan negara lain, akan mulai dengan menyebarkan manifesto kepada warga negaranya dan ke seluruh dunia. Dalam manifesto itu, negara tersebut akan mengumumkan bahwa kebenaran dan keadilan berada di sisinya, dan perang tersebut dilandasi cinta dengan kemanusiaan dan kedamaian, dibubuhi sentimen-sentimen kedamaian yang royal. Negara itu juga akan menyatakan kebenciannya terhadap kemenagan materi dan menyatakan perang itu bukan untuk menambah kekuasaan (dan perang akan diberhentikan secepat-cepatnya, kalau keadilan sudah diraih). Musuh negara itu juga akan memberikan pernyataan yang sama.
Manifesto-manifesto yang berlawanan antara kedua negara tersebut ditulis sama halusnya, mengandung kandungan moralitas dan bobot ketulusan yang sama; dengan kata lain, kedua-dua manifesto itu adalah jelas-jelas bohong. Orang-orang yang berakal sehat, mereka yang mempunyai pengalaman dalam politik, tidak akan membuang waktu membaca manifesto-manifesto itu, hanya orang tolol yang akan mempercayainya. Sebaliknya, mereka akan menyelidiki faktor-faktor yang mendorong kedua-dua negara tersebut untuk berperang, dan mengira-nira kekuatan kedua-dua pihak dan menebak siapa yang akan menang. Ini membuktikan bahwa perang seperti itu tidak mempunyai bobot moral.
Perjanjian-perjanjian (protokol) internasional yang mengatur hubungan antara negara-negara di dunia, tidak mempunyai sangsi moral yang berarti. Dalam setiap babak sejarah, perjanjian.protokol tersebut merupakan ekpresi keseimbangan (equilibrium) kekuatan antara negara-negara, dan konsekuensi dari pada ketegangan antar negara. Selagi negara-negara masih ada, kedamaian tak akan tercapai. Hanya ada perdamaian temporer; jikalau sebuah negara merasa cukup kuat untuk menghancurkan keseimbangan tersebut untuk keuntungannya, negara itu tidak akan gagal menggunakan kesempatan ini. Sejarah manusia telah membuktikan pernyataan di atas.
Ini menjelaskan kepada kita mengapa sejak sejarah dimulai, sejak negara mulai dibentuk, dunia politik menjadi pentas penipuan dan perampokan -penipuan dan perampokan yang terpuji karena dilakukan atas nama patriotisme, moralitas transenden. Ini menjelaskan mengapa seluruh sejarah negara kuno dan moderen, tidaklah lebih dari rentetan tindakan kriminal yang memuakan; mengapa raja-raja, dan seluruh aparatus negara (menteri, diplomat, birokrat dan pahlawan) kalau diadili dari sudut pandang moralitas yang sebenarnya, patut dihukum seberat-beratnya.
Tidak ada satupun dari tindakan-tindakan seperti, teror, kekejaman, penipuan dan perampokan, yang tak pernah dilakukan oleh aparatus negara (dan sampai sekarang masih terus dilakukan), dengan alasan tidak lain dari "alasan kenegaraan". Pada saat institusi negara mengeluarkan "suara", semua bungkam,: harga diri, kejujuran, keadilan, hak asasi dan belas kasih, hilang, bersama dengan logika dan akal sehat; hitam jadi putih dan sebaliknya; kejahatan dan tindakan kriminal yang ganas dianggap sebagai perbuatan yang terpuji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar