Minggu, 03 Juni 2012

IMORALITAS NEGARA Mikhail Bakunin

Kita dapat berasumsi bahwa pembentukan sebuah negara akan mem-provokasi pembentukan negara-negara lain. Hal ini adalah logika karena individu-individu yang berada di luar negara tersebut merasa terancam dan mereka akan berkelompok demi keamanan mereka. Akibatnya manusia telah terpecah belah menjadi banyak negara (kelompok) dan manusia menjadi asing dan ganas terhadap sesamanya.
Dengan perpecahan tersebut, manusia tidak mempunyai hak umum dan kontrak sosial di antara mereka, jikalau hak dan kontrak tersebut ada, negara-negara tersebut akan lenyap dan menjadi anggota federasi dalam suatu negara besar. Keculai negara (maha) besar ini ’merangkul’ seluruh umat manusia, negara ini kan mengundang permusuhan dengan negara lainnya. Kalau kondisinya seperti itu, perang akan menjadi hukum dan kebutuhan hidup umat manusia.
Setiap negara, apakah negara itu mempunyai karakter federasi atau non federasi, mempunyai keharusan untuk melahap negara lain, supaya ia tidak dilahap, memperbudak supaya tidak diperbudak dan menguasai supaya tidak dikuasai.
Pada hakikatnya, setiap negara itu mempunyai karakter bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Negara menghancurkan solidaritas diantara manusia dan mempersatukan sebagian manusia hanya untuk menghancurkan, menguasai dan memperbudak sebagian lain manusia. Sebuah negara hanya melindungi warga negaranya, karena negara itu tidak mengakui hak-hak orang lain diluar batas kekuasannya: dan secara prinsipil, negara ini akan memperlakukan orang asing dengan semena-mena. Kalau negara itu memperlakukan orang asing tersebut dengan manusiawi, itu bukan karena kewajibannya: karena negara itu tidak mempunyai kewajiban kepada siapa pun, tetapi kepada ’dirinya’ sendiri dan warga negaranya, yang telah membentuknya.
Secara prinsipil, hukum internasional tidak dapat diterapkan tanpa meng-kontradiksi dasar kekuasaan negara yang absolut: bahwa sebuah negara tidak mempunyai kewajiban terhadap orang asing. Kalau negara itu memperlakukan populasi yang dijajahnya secara manusiawi, karena ia memperhitungkan konsekuensi politik atas tindakannya, dan tidak pernah karena kewajibannya -karena ia mempunyai hak yang absolut untuk memperlakukan orang asing semau- maunya.
Sekarang kita dapat melihat kontradiksi antara nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip kekuasaan negara dengan jelas sekali. Dalam sebuah negara, kekosongan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas diisi dengan sebuah konsep, yaitu, ’patriotisme". Patriotisme dapat kita kategorikan sebagai moralitas yang transenden, karena patriotisme adalah suatu moralitas yang tidak dapat dijelaskan dengan logika dan rationalitas. Umpamanya, merampok, menjajah, membunuh, bagi seseorang yang bermoral adalah suatu tindakan kriminal yang ganas, tetapi mungkin dilakukan oleh seorang patriotik.
Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dan dari sudut pandang patriotisme, kalau tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk membawa kebesaran bagi suatu negara dan untuk memperbesar kekuasaan negara tersebut, semuanya adalah merupakan kewajiban warga negara dan kelakuan yang terpuji. Setiap orang akan dipastikan berbuat demikian tidak hanya terhadap orang asing tetapi juga terhadap orang sebangsanya (umpamanya membunuh pengkhianat bangsa) jikalau negara membutuhkannya untuk bertindak demikian.
Tujuan mutlak bagi setiap negara adalah untuk memperjuangkan keberadannya dengan segala cara. Semua negara, sejak dibentuk di muka bumi ini akan berjuang untuk selamanya (selama negara itu masih berada) -berjuang melawan warga negaranya sendiri yang telah ia aniaya dan hancurkan, berjuang melawan semua kekuatan asing. Setiap negara hanya bisa kuat kalau yang lain lemah -akibatnya negara tidak dapat meneruskan perjuangannya kecuali negara tersebut terus menambah kekuatannya -untuk melawan warga negaranya dan negara-negara lain.
Kesimpulannya prinsip kedaulatan suatu negara adalah penambahan kekuatan yang akan menyebabkan penyekatan kebebasan internal bagi warga negara dalam negara itu dan penyelewengan keadilan di luar kekuasaan negara.
Penjelasam di atas adalah gambaran moral dan tujuan suatu negara. Cara apapun yang dapat mencapai tujuan suatu negara, dianggap benar dan terpuji. Negara adalah suatu institusi yang mempunyai tujuan mutlak untuk memperjuangkan kedaulatannya selamanya, semua orang harus tunduk dan melayani kepentingan negara tersebut. Tindakan-tindakan yang menghambat tujuan suatu negara, dianggap kriminal. Moralitas suatu negara adalah kebalikan dari keadilan dan nilai-nilai krmanusiaan.
Setiap saat penyelenggara negara, dalam menjalankan fungsi kenegaraan dan mempertahankan institusi negara, dihadapkan kepada alternatif-alternatif yang amoral , hanya ada satu jalan -bertindak secara munafik. Institusi negara bercakap dan sepertinya berbuat dalam nama kemanusiaan, tetapi institusi ini melanggar nilai- nilai kemanusiaan setiap hari. Tetapi kita tidak dapat menyalahkan negara mengenai kecacatan karakternya itu. Institusi negara tidak bisa berbuat sebaliknya, posisi negara mengharuskannya untuk menjadi munafik- diplomasi tidak mempunyai maksud yang lain.
Jadi, apa yang kita lihat? Setiap negara yang ingin berperang dengan negara lain, akan mulai dengan menyebarkan manifesto kepada warga negaranya dan ke seluruh dunia. Dalam manifesto itu, negara tersebut akan mengumumkan bahwa kebenaran dan keadilan berada di sisinya, dan perang tersebut dilandasi cinta dengan kemanusiaan dan kedamaian, dibubuhi sentimen-sentimen kedamaian yang royal. Negara itu juga akan menyatakan kebenciannya terhadap kemenagan materi dan menyatakan perang itu bukan untuk menambah kekuasaan (dan perang akan diberhentikan secepat-cepatnya, kalau keadilan sudah diraih). Musuh negara itu juga akan memberikan pernyataan yang sama.
Manifesto-manifesto yang berlawanan antara kedua negara tersebut ditulis sama halusnya, mengandung kandungan moralitas dan bobot ketulusan yang sama; dengan kata lain, kedua-dua manifesto itu adalah jelas-jelas bohong. Orang-orang yang berakal sehat, mereka yang mempunyai pengalaman dalam politik, tidak akan membuang waktu membaca manifesto-manifesto itu, hanya orang tolol yang akan mempercayainya. Sebaliknya, mereka akan menyelidiki faktor-faktor yang mendorong kedua-dua negara tersebut untuk berperang, dan mengira-nira kekuatan kedua-dua pihak dan menebak siapa yang akan menang. Ini membuktikan bahwa perang seperti itu tidak mempunyai bobot moral.
Perjanjian-perjanjian (protokol) internasional yang mengatur hubungan antara negara-negara di dunia, tidak mempunyai sangsi moral yang berarti. Dalam setiap babak sejarah, perjanjian.protokol tersebut merupakan ekpresi keseimbangan (equilibrium) kekuatan antara negara-negara, dan konsekuensi dari pada ketegangan antar negara. Selagi negara-negara masih ada, kedamaian tak akan tercapai. Hanya ada perdamaian temporer; jikalau sebuah negara merasa cukup kuat untuk menghancurkan keseimbangan tersebut untuk keuntungannya, negara itu tidak akan gagal menggunakan kesempatan ini. Sejarah manusia telah membuktikan pernyataan di atas.
Ini menjelaskan kepada kita mengapa sejak sejarah dimulai, sejak negara mulai dibentuk, dunia politik menjadi pentas penipuan dan perampokan -penipuan dan perampokan yang terpuji karena dilakukan atas nama patriotisme, moralitas transenden. Ini menjelaskan mengapa seluruh sejarah negara kuno dan moderen, tidaklah lebih dari rentetan tindakan kriminal yang memuakan; mengapa raja-raja, dan seluruh aparatus negara (menteri, diplomat, birokrat dan pahlawan) kalau diadili dari sudut pandang moralitas yang sebenarnya, patut dihukum seberat-beratnya.
Tidak ada satupun dari tindakan-tindakan seperti, teror, kekejaman, penipuan dan perampokan, yang tak pernah dilakukan oleh aparatus negara (dan sampai sekarang masih terus dilakukan), dengan alasan tidak lain dari "alasan kenegaraan". Pada saat institusi negara mengeluarkan "suara", semua bungkam,: harga diri, kejujuran, keadilan, hak asasi dan belas kasih, hilang, bersama dengan logika dan akal sehat; hitam jadi putih dan sebaliknya; kejahatan dan tindakan kriminal yang ganas dianggap sebagai perbuatan yang terpuji.

GAGASAN UMUM REVOLUSI Proudhon


Ide Jenderal Revolusi di Abad Kesembilan Belas merupakan salah satu karya klasik sastra anarkis. [1] Ditulis dalam setelah Revolusi 1848 Prancis, menetapkan alternatif libertarian untuk Jacobinisme yang pada waktu itu masih mendominasi republik dan gerakan revolusioner di Perancis. Ini berisi kritik terhadap masyarakat yang ada dan lembaga-lembaganya, visi masyarakat yang bebas berdasarkan kesetaraan dan keadilan, dan strategi rinci untuk perubahan revolusioner. Meskipun posisi ambivalen mengenai reformasi pemerintah dimulai, ia menetapkan nada untuk propaganda anarkis berikutnya sebagai anarkisme mulai muncul sebagai kekuatan yang signifikan di sebelah kiri revolusioner.

Penulisnya, Pierre-Joseph Proudhon, lahir pada tanggal 15 Januari 1809 di kota Besançon di Franche-Comté, sebuah provinsi di bagian timur Perancis berbatasan dengan wilayah Jura Swiss. Orangtuanya miskin dan republik, namun karena penentuan ibunya dan beasiswa sederhana ia mampu bersekolah untuk waktu, dimana ia secara teratur memenangkan hadiah kelas meskipun terlalu miskin untuk membeli buku sendiri. Akhirnya ia terpaksa berhenti sekolah untuk mendukung dirinya dan keluarganya. Ia menjadi printer. Traktat religius membentuk sebagian besar dari bahan ia bekerja dengan, dan mereka memiliki efek yang tidak diinginkan mengikis keyakinan agamanya.

Pada 1829 ia diawasi pencetakan Charles Fourier Le Nouveau Monde Industriel et Sociétaire, salah satu karya besar dari sosialisme utopis. Dia memiliki beberapa diskusi dengan Fourier dirinya dan, karena ia kemudian menceritakan, untuk 'enam minggu penuh ... tawanan ini jenius aneh. "[2] Pengaruh Fourier dapat dideteksi di seluruh karya Proudhon sendiri, tetapi Proudhon membanggakan diri nya" ilmiah pendekatan 'dan tidak memiliki imajinasi utopis terkadang fantastis Fourier.

Ia tidak sampai 1839 yang diterbitkan Proudhon esai pertama yang penting dalam kritik sosial, De l'utilité de la perayaan du Dimanche considérée sous les rapports de l'kebersihan publique, de la moral, hubungan des de famille et de cité (Pada utilitas ketaatan Minggu dari sudut pandang kesehatan umum, moralitas dan hubungan masyarakat dan keluarga). Di dalamnya ia dinyatakan dengan kejelasan yang mengagumkan sifat dari 'masalah sosial' yang ia mendedikasikan hidupnya dalam upaya untuk memberikan solusi: 'untuk menemukan keadaan kesetaraan sosial yang masyarakat, maupun despotisme, atau pembagian keluar , atau anarki, tetapi kebebasan dalam rangka dan kemerdekaan dalam kesatuan '[3].

Tapi itu adalah pekerjaan berikutnya yang adalah untuk mendapatkan ketenaran baginya langgeng dan reputasi sebagai salah satu ahli teori sosialis terkemuka pada zamannya. Pertama kali diterbitkan pada 1840, Proudhon itu Apa Properti? Sebuah Kirim ke Prinsip Hak dan Pemerintah, sebagai kritik kuat dari properti swasta dan pemerintah. Untuk pertanyaan yang terkandung dalam judul buku itu, Proudhon menjawab bahwa "properti adalah pencurian," penghasilan baginya permusuhan hak dan rasa hormat dari kiri revolusioner [4] Karl Marx, kemudian lawan mengejek Proudhon,. Memuji pekerjaan sebagai 'penyelidikan ilmiah pertama tegas, kejam, dan pada saat yang sama' dan kritik terhadap milik pribadi. [5]

Seandainya Proudhon membatasi diri pada kritik terhadap milik pribadi ia akan dijamin untuk dirinya sendiri reputasi yang abadi. Tapi dia melangkah lebih jauh. Selain menyatakan bahwa properti adalah pencurian, ia menyatakan dirinya seorang anarkis.

Sebelum Proudhon, 'anarkis' kata telah secara eksklusif digunakan sebagai julukan menghina yang akan melemparkan pada lawan politik seseorang. Proudhon adalah orang pertama yang mengadopsi label dengan antusias. Dia mengecam 'pemerintah manusia atas manusia' 'penindasan,' sebagai dan sebagai gantinya menganjurkan suatu masyarakat yang didasarkan pada 'kesetaraan, hukum, kemandirian, dan proporsionalitas' yang 'menemukan kesempurnaan tertinggi dalam persatuan pesanan dengan anarki.' [ 6] Dia ditetapkan 'anarki' sebagai 'tidak adanya master, yang berdaulat, dan membayangkan suatu masyarakat di mana [7' kedaulatan hasil keinginan untuk kedaulatan alasan. ']

Meskipun tampaknya pernyataan radikal terhadap properti dan pemerintah, Proudhon ditolak tidak properti atau pemerintah sepenuhnya. Di tempat hak milik, yang didefinisikan sebagai hak untuk menggunakan dan menyalahgunakan sesuatu sesuka hati, ia mengemukakan hak pakai hasil atau hak kepemilikan, yang didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan menggunakan tanah, peralatan dan alat diperlukan untuk mempertahankan kemandirian ekonomi seseorang.

Apa Proudhon benar-benar keberatan berkenaan dengan milik pribadi adalah penghasilan dari pendapatan dari kerja orang lain melalui cara-cara seperti tenaga kerja sewa, bunga dan upah. Setelah membayar karyawan upah mereka, kapitalis mempertahankan sisa keuntungan tanpa memberikan kontribusi apa pun tenaga kerja produktif sendiri. Terkait bersama-sama, para pekerja menciptakan kapasitas produktif yang lebih besar daripada jumlah kekuatan masing-masing, tetapi itu adalah kapitalis yang menuai manfaat. Para pekerja menyetujui dalam eksploitasi mereka sendiri karena alternatif satu-satunya adalah kelaparan dan kesengsaraan.

Solusi Proudhon adalah untuk mendukung pertukaran setara dengan produk langsung antara pekerja terkait sendiri, dengan nilai yang ditentukan oleh biaya produksi dan jumlah waktu kerja. Untuk skema dasar ia kemudian menambahkan proposal untuk kredit gratis dan sistem jaminan bersama (pelayanan dan pasar, misalnya).

Setelah mendefinisikan anarki sebagai tidak adanya master atau berdaulat, Proudhon membuat prediksi mengatakan bahwa [8] Gambaran yang tampaknya paradoks anarki sebagai 'bentuk pemerintahan' 'tersebut adalah bentuk pemerintahan yang kita aproksimasi setiap hari. " mengungkapkan beberapa ambiguitas serius, jika tidak kontradiksi, dalam proposal awal Proudhon anarkis.

Pada 1840, jauh dari advokasi penghapusan lengkap dari semua bentuk pemerintahan, Proudhon itu hanya menganjurkan penggantian satu bentuk pemerintahan, pemerintahan berdasarkan kehendak penguasa, dengan bentuk lain dari pemerintah, pemerintah didasarkan pada akal, atau sebagai Proudhon menggambarkannya, "sosialisme ilmiah, 'ide sebagian besar berasal dari Saint Simon [9]. Dia serius mengusulkan bahwa semua pertanyaan politik dalam dan luar negeri diputuskan oleh Academy of Sciences atas dasar statistik rinci.

Adalah seorang anarkis sesama Proudhon, Mikhail Bakunin, setelah kematian Proudhon, menunjukkan implikasi otoriter berbahaya 'pemerintah oleh ilmu pengetahuan dan Bakunin mengembangkan kritik terhadap konsep-konsep ini selama konflik dengan Marx atas arah yang tepat' sosialisme ilmiah '. dari gerakan sosialis. Pada saat itu pengikut Marx telah mengadopsi 'sosialisme ilmiah' ekspresi untuk membedakan diri dari kaum anarkis dan apa yang disebut 'utopis' sosialis.

Bakunin meramalkan bahwa, dalam prakteknya, sosialisme ilmiah akan berjumlah tidak lebih dari sebuah kediktatoran intelektual, 'yang paling aristokrat, lalim, sombong dan merendahkan semua rezim. "[10] Sosialisme, dia memperingatkan, adalah dalam bahaya yang berubah menjadi ideologi dari kelas baru intelektual mencoba untuk memanfaatkan ketidakpuasan rakyat untuk mencapai kekuasaan negara [11].

Proudhon sendiri menjauh dari pendukung awal sosialisme ilmiah. Sebagaimana akan kita lihat, di tempat masyarakat pengatur akademi ilmiah, ia datang untuk mengadopsi kontrak sukarela sebagai alat utama koordinasi ekonomi dan politik. Proudhon melihat kontrak individual, tanpa paksaan antara pihak kekuatan menawar kurang lebih sama, sebagai perlindungan paling pasti kebebasan.

Tapi Apa itu Properti? bukan menjadi satu-satunya tempat di mana Proudhon, anarkis memproklamirkan diri, adalah untuk menetapkan peran pemerintah positif. Dalam Memoir Kedua tentang properti dia menganjurkan memberi negara eminent domain atas semua modal, dan bahkan menyarankan agar Raja kemudian Perancis, Louis-Philippe, [12] 'menjadi pemimpin partai radikal.'

Ketergantungan Proudhon pada negara menggambarkan kelalaian serius dalam program awal nya sosial. Pada saat ini Proudhon kurang memiliki strategi yang nyata bagi perubahan revolusioner. Dia melihat kepada pemerintah untuk memberlakukan langkah-langkah yang akan membuat properti berdaya, tapi percaya bahwa setelah ini dicapai pemerintah itu sendiri akan menjadi tidak perlu. Dia lebih naif percaya bahwa negara dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan sendiri, pandangan masih ada di Ide Jenderal Revolusi.

Dalam karya berikutnya utamanya, De la penciptaan de l'ordre dans l'Humanite (Pada Penciptaan Orde Kemanusiaan), Proudhon berusaha untuk mengembangkan ilmu sosial yang komprehensif, mengadaptasi 'metode serial' Fourier [13].

Buku itu tidak diterima dengan baik. Proudhon dituduh menggelapkan Kant 'antinomi, "karena ia kemudian dituduh oleh Marx menggelapkan dialektika Hegel. Max Stirner, yang segera mempublikasikan karya klasiknya individualisme anarkis dan egoisme nihilistik, Der Einzige und sein Eigenthum (The Ego dan Sendiri), keberatan dengan moralisme nya. [14] Proudhon sendiri kemudian diberhentikan buku sebagai ringkasan 'dari siswa studi atau dari mereka dari ignoramous '[15].

Referensi Proudhon pada dirinya sendiri sebagai mahasiswa sangat tepat, untuk tahun 1840-an itu menjadi waktu perkembangan intelektual besar baginya. Ia menghabiskan banyak waktunya selama dekade itu di Paris, di mana ia bertemu sejumlah revolusioner terkemuka, termasuk Marx dan Bakunin.

Marx kemudian mengklaim perbedaan meragukan memiliki Proudhon yang terinfeksi dengan Hegelianisme. Bahkan, Proudhon telah memiliki kenalan yang dangkal dengan ide-ide Hegel. Dengan pengakuan sendiri Marx ia tidak bisa menjadi guru yang sangat baik, karena dia kemudian mengklaim bahwa Proudhon dipahami [16] 'apa-apa tentang dialektika Hegel tetapi bahasa. "

Kontak Proudhon selama tahun 1840-an tidak terbatas pada mereka yang memiliki intelektual. Ketika bekerja di Lyon ia berkenalan dengan sekelompok pekerja revolusioner yang menyebut diri mereka mutualis. Para pekerja Lyon menekankan perlunya para pekerja sendiri untuk mengendalikan nasib mereka dengan menghubungkan bersama-sama ke sebuah jaringan organisasi koperasi. Dengan langsung mengatur produksi mereka sendiri dan pertukaran, asosiasi pekerja akan menghilangkan eksploitasi kapitalis, memberikan kemerdekaan dan keamanan kepada anggota mereka [17].

Ide-ide ini harus telah menghantam sebuah akord responsif dalam Proudhon. Tidak hanya dia sendiri nama doktrin ekonominya 'mutualisme', menempatkan dia mengajukan proposal sangat mirip. Proudhon melihat asosiasi sebagai 'pekerja sintesis sejati kebebasan dan ketertiban' [18].

Meskipun ia menganjurkan asosiasi tenaga kerja sejak tahun 1840-an awal, itu hanya setelah kontak dengan para pekerja Lyon bahwa ia digambarkan rencana secara rinci. Setiap asosiasi akan dikontrol oleh sebuah dewan dipilih oleh anggotanya. Asosiasi ini akan memberikan manfaat penyakit dan pensiun kepada para anggotanya, yang akan berbagi dalam keuntungan dari asosiasi sebanding dengan kerja mereka. Setiap pekerja akan menerima pendidikan politeknik, dan pekerjaan akan diputar untuk menghindari pembagian Stupefying tenaga kerja. Transaksi ekonomi antara asosiasi dan individu akan didasarkan pada prinsip pertukaran setara. Proposal serupa terkandung dalam Ide Jenderal Revolusi. [19]

Paparan Proudhon untuk masyarakat pekerja militan 'juga mungkin telah membantu dia mengembangkan konsep yang lebih konsisten dari perubahan revolusioner. Daripada mengandalkan negara sebagai inisiator reformasi sosial, Proudhon bisa melihat ke asosiasi pekerja. 'Gerakan sosialis baru, "tulisnya," akan dimulai dengan kenyataan sui generis, perang lokakarya.' [20]

Meskipun retorika militan, Proudhon dikandung revolusi pasifik dalam hal:

Pekerja, yang diselenggarakan antara mereka sendiri, tanpa bantuan dari kapitalis, dan berbaris dengan Kerja untuk penaklukan dunia, akan pada saat tidak perlu pemberontakan kasar, tetapi akan menjadi semua, dengan menyerang semua, melalui kekuatan prinsip. [ 21]

Proudhon percaya bahwa asosiasi akan muncul sebagai pemenang karena mereka secara moral dan ekonomi lebih unggul dari perusahaan kapitalis. Namun, seperti akan kita lihat, meskipun baru-ditemukan keyakinannya pada potensi revolusioner gerakan buruh, Proudhon adalah kadang-kadang kembali ke ketergantungan sebelumnya pada negara.

Pada 1846 Proudhon menerbitkan karya besar ekonominya, kedua Sistem volume Kontradiksi Ekonomi, atau, Filsafat Kemiskinan [22]. Dia mengkritik sezaman sosialisnya untuk utopianisme mereka dan mengutuk para ahli ekonomi borjuis untuk berpuas diri mereka. Dia berargumen bahwa sistem ekonomi yang ada pasti menghasilkan eksploitasi dan kesengsaraan akibat kontradiksi internalnya sendiri. Kontradiksi tersebut tidak dapat diselesaikan dengan hanya sedikit demi sedikit reformasi, tetapi hanya melalui penciptaan sebuah sintesis yang lebih tinggi - mutualisme. Hal ini di Ide Jenderal Revolusi bahwa Proudhon menyajikan gambar yang paling rinci dari alternatif mutualis.

Sistem dari Kontradiksi Ekonomi menimbulkan pemberitahuan sedikit, kecuali dari Marx, yang menanggapinya dengan kritik pedas, Kemiskinan Filsafat, di mana ia menyerang teori ekonomi Proudhon dan dia menggunakan dialektika Hegel. Proudhon dimaksudkan untuk menjawab, tapi segera sibuk dengan hal yang lebih penting -. Revolusi 1848 di Perancis [23] Pada bulan Februari 1848, monarki konstitusional korup dari Louis-Philippe digulingkan oleh revolusi rakyat. Sebuah pemerintahan sementara dibentuk yang mendeklarasikan diri mendukung Republik. Tak lama kemudian memproklamirkan hak pilih laki-laki universal.

Reaksi Proudhon untuk Revolusi Februari adalah terkendali dan ambivalen. Dia membantu membawa batu untuk membangun barikade jalan dan mengatur jenis untuk proklamasi republik pertama, tetapi dalam buku catatannya ia mengeluh bahwa mereka telah membuat revolusi tanpa ide. '[24]

Segera setelah penggulingan rezim monarki, sekelompok pekerja bersenjata mendekati Proudhon untuk melanjutkan proyek sebelumnya untuk menerbitkan sebuah koran sosialis. Proudhon sepakat untuk mengedit kertas, Le representant du Peuple (Perwakilan Rakyat), meskipun tidak setuju dari judulnya (dengan alasan bahwa orang tidak perlu perwakilan tapi harus bertindak untuk diri mereka sendiri). Di atas kertas masthead nya yang menyatakan: 'Apa produser? Tidak ada! Apa yang harus dia? Semuanya '[25]!

Tanggapan pertama besar untuk Revolusi Februari adalah serangkaian artikel kemudian diterbitkan sebagai Solusi dari Masalah Sosial [26]. Di sinilah ia pertama kali ditetapkan secara rinci proposalnya untuk kredit gratis dan sebuah bank pertukaran. Dia juga menjelaskan mencela hak pilih universal sebagai kontra-revolusi dan menyerang demokrasi parlementer sebagai [27] 'despotisme konstitusional. "

Proudhon membela gagasannya tentang tatanan spontan yang timbul melalui interaksi bebas. 'Republik ideal,' tulisnya, 'adalah anarki positif' di mana 'setiap warga negara, dengan melakukan apa yang dia ingin dan hanya apa yang dia inginkan, berpartisipasi langsung dalam undang-undang dan pemerintahan, karena ia berpartisipasi dalam produksi dan sirkulasi kekayaan '[28]. Apa yang dimaksud dengan ini, seperti yang dijelaskan di Ide Jenderal Revolusi, adalah bahwa fungsi pemerintahan akan diserap dalam organisasi ekonomi masyarakat.

Proudhon takut bahwa hak pilih universal, tanpa jauh reformasi sosial, hanya akan berfungsi sebagai perangkat untuk melegitimasi status quo. Dia diejek klaim pendukung demokrasi perwakilan yang majelis perwakilan yang dipilih cukup bisa mewakili kepentingan luas divergen dan sering bertentangan rakyat secara keseluruhan. Dia berpikir itu sendiri-jelas tidak masuk akal bahwa pertanyaan yang benar bisa diputuskan oleh suara mayoritas. Wanita, anak-anak, pelayan dan pria dengan catatan kriminal tidak diberi suara untuk alasan yang bisa dengan mudah digunakan untuk 'mengecualikan kaum proletar dan semua pekerja,' dan itulah yang hak itu Mei 1850, ketika tiga juta orang kehilangan haknya [29].

Di tempat demokrasi perwakilan, Proudhon menganjurkan suatu bentuk demokrasi langsung yang diselenggarakan di sekitar Bank yang diusulkan dari Exchange. Bank adalah untuk menerbitkan wesel tukar anggotanya mewakili nilai dari barang yang diproduksi oleh mereka. Catatan dapat diperoleh di muka, dengan hanya biaya administrasi yang dikenakan kecil, memberikan apa yang berlaku akan rendah-biaya pinjaman kepada anggota Bank.

Kontrol umum Bank adalah akan menjadi hak dalam Majelis Umum terdiri [30] 'delegasi yang dipilih oleh semua cabang produksi dan pelayanan publik. "Proudhon dibedakan delegasi dari perwakilan atas dasar bahwa yang pertama akan tunduk pada sebuah' mandat penting 'dan' revocability permanen '[31]. Majelis Umum pada gilirannya akan memilih dari anggotanya Dewan Direksi untuk mengelola Bank dan sebuah Dewan Pengawasan untuk mengawasi operasi Bank Dunia. Sebagai Bank menarik lebih banyak anggota, akan menjadi 'wakil sejati rakyat.' [32]

Pernyataan terakhir ini didasarkan pada pandangan Proudhon bahwa Bank of Bursa akan mewakili kepentingan riil rakyat ekonomi, sedangkan perakitan satunya wakil merupakan 'kepentingan umum' fiktif yang menyamarkan kepentingan khusus dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan membatasi fungsinya untuk memastikan pertukaran setara, Bank hanya akan memfasilitasi mengejar tujuan individu, bukan memaksakan visi ideologis tertentu atas nama rakyat. Ini akan menciptakan konteks untuk interaksi bebas dari kekuatan-kekuatan ekonomi tanpa kemiskinan dan eksploitasi yang mencirikan kapitalisme laissez-faire, atau lebih Proudhon percaya. Dalam usulannya bagi Bank dari Exchange, Proudhon berusaha untuk menguraikan struktur kelembagaan masyarakat yang bebas dan egaliter, sebuah proyek yang ia melanjutkan di Ide Jenderal Revolusi.

Pada bulan April 1848 ia mendekati Louis Blanc, maka menteri dalam Pemerintahan Sementara, untuk mencari sponsor Blanc dari rencananya untuk mengubah Bank Prancis ke Bank of Exchange. Pada bulan yang sama ia berdiri sebagai calon dalam pemilihan untuk Majelis Konstituante, setelah demokrasi perwakilan mencela hanya beberapa minggu sebelumnya. Dia mengambil kekalahannya, dan hasil buruk calon sosialis lainnya, sebagai bukti lebih lanjut dari sifat kontra-revolusioner hak pilih universal. 'Penyebab proletariat,' tulisnya, 'menyatakan dengan semangat pada barikade Februari, baru saja telah hilang dalam pemilihan pada bulan April,' yang kembali sebagai Majelis Konstituante didominasi oleh elemen-elemen sayap kanan dan borjuis. [33]

Tidak terpengaruh oleh kegagalan awal, Proudhon berlari dalam pemilihan pelengkap diadakan pada awal Juni. Kali ini ia berhasil, dan sebagai Robert Hoffman catatan L., sebagian besar suara yang diberikan untuk dia berasal dari 'kelas pekerja distrik Paris - suatu fakta yang berlawanan dengan klaim dari beberapa kaum Marxis, yang katanya adalah wakil hanya kaum borjuis mungil '[34].

Dalam program politiknya, Proudhon memperluas skema organisasi itu untuk Bank dari Exchange ke dalam teori fungsional dari pemerintah. Sebuah perkumpulan nasional yang akan dibuat dengan anggotanya dipilih oleh [35] 'setiap kategori produsen dan fungsionaris, sebanding dengan jumlah anggota mereka. "Fungsinya adalah untuk secara ketat terbatas pada urusan utilitas umum. Dia mengulangi pandangannya bahwa hanya ketika tenaga kerja diselenggarakan mengekspresikan diri melalui perwakilan sendiri akan 'masyarakat ... memiliki representasi benar '[36].

Masyarakat itu harus diorganisir sekitar lima 'perusahaan' otonom independen dari majelis nasional, masing-masing menteri sendiri yang dipilih secara demokratis, yang mewakili '(1) industri ekstraktif, (2) keprihatinan manufaktur, (3) perusahaan komersial, (4) pertanian, dan (5) ilmu pengetahuan, surat, dan seni '[37] Itu adalah sistem' demokrasi industri 'pada skala nasional. [38].

Proudhon terus melakukan advokasi bahwa Bank of Prancis diubah menjadi Bank of Exchange. Ia mengusulkan reformasi berbagai sistem hukum tetapi demi mempertahankan hukuman mati. Di tempat wajib militer ia menyarankan satu atau dua tahun pelayanan milisi untuk setiap warga negara. Dia memperjuangkan keluarga patriarkal dan tidak menyetujui perceraian. Ia mengusulkan penurunan 25 persen pada harga sewa dan batas pada gaji pegawai. Dia lagi dibedakan antara properti dan kepemilikan, ia ingin semua harta lainnya, kecuali barang pribadi dan instrumen pekerjaan yang harus didistribusikan secara egaliter.

Karena ini ringkasan singkat menunjukkan, Proudhon terpilih berdasarkan platform politik yang demokratis dan sosialis yang mengandung kedua unsur radikal dan konservatif - radikal dalam isu-isu ekonomi dan politik (bahkan jika itu bukan program anarkis), konservatif pada isu-isu sosial yang lebih luas ( keluarga). Ini adalah program yang tidak bisa tetapi menarik bagi pria bekerja radikal kecewa dengan kebijakan pemerintah Republik. [39]

Itu kekecewaan akan meledak menjadi pemberontakan berdarah. Pada tanggal 21 Juni 1848, pemerintah menghapuskan 'lokakarya nasional yang telah dibentuk untuk menyediakan pekerjaan bagi para penganggur. Meskipun Proudhon telah sangat kritis terhadap lokakarya, yang dianggap sebagai semacam kesejahteraan negara-sosialisme, ia menentang penghapusan mereka dengan tidak adanya langkah-langkah alternatif untuk para pekerja tergantung pada mereka. Para pekerja sendiri menanggapi penghapusan dengan bangkit melawan pemerintah. Barikade yang didirikan di kelas pekerja bidang Paris dimana buruh bersenjata memerangi tentara yang setia kepada pemerintah. Setelah tiga hari jalan-pertempuran, pasukan 'urutan,' di bawah pimpinan Cavaignac Umum republik, adalah kemenangan. Lebih dari 1.000 orang tewas, dan ribuan lainnya dipenjarakan.

Proudhon yang tidak sadar oleh pemberontakan, diisolasi sebagai wakil rakyat di Majelis Nasional. Pada awalnya ia pikir itu semacam provokasi, tetapi setelah mengunjungi perselisihan yang dilanda bidang Paris dia menjadi yakin bahwa para pekerja telah terinspirasi oleh cita-cita sosial yang lebih luas. Dia mengutuk pemerintah atas kebiadaban penindasan, yang dihasilkan dari ketakutan sendiri rakyat. Dia secara terbuka mengidentifikasi diri dengan para pekerja dan menyalahkan Majelis karena menghasut pemberontakan itu sendiri melalui kehendak-sakit dan ketidakpedulian. Ia menerbitkan sebuah manifesto menuntut bantuan ekonomi langsung bagi kelas pekerja dan langsung meminta Garda Nasional untuk dukungan. Akibatnya, kertas untuk sementara ditekan.

Dia mengajukan proposal ekonomi di depan Majelis Nasional, yang melewati sebuah gerakan khusus kecaman mengutuk baik Proudhon dan usulannya. Selama Proudhon perdebatan dituduh mengobarkan perang sosial. Proudhon berdiri hampir saja sebelum ini Majelis bermusuhan perwakilan borjuis yang baru saja baru-baru ini memuji penindasan kejam Cavaignac dari pemberontakan tersebut. Ia didukung oleh hanya satu wakil, seorang pekerja sosialis dari Lyon. Itu adalah tindakan keberanian sejati.

Ketika makalahnya diizinkan untuk muncul kembali di bulan Agustus, Proudhon telah ditambahkan ke masthead nya, 'Apa kapitalis? Semuanya! Apa yang harus dia? Tidak ada! '[40] Ia menerbitkan esai yang terkenal, The pengikut Malthus, serangan pahit dan ironis pada kapitalisme laissez-faire dan kemunafikan borjuis [41]. Kertas Nya benar-benar ditekan, tetapi Proudhon tidak dapat dituntut karena ia menikmati kekebalan parlemen.

Pada bulan Oktober 1848, Proudhon memberikan 'Toast untuk Revolusi' yang terkenal sebelum penonton dari 2.000 pada perjamuan di Paris [42]. Di sini ia mengembangkan konsep 'revolusi permanen,' manifestasi berturut keadilan dalam kehidupan manusia, dan menganjurkan tindakan langsung oleh rakyat, tanpa perantara, sebagai sarana untuk menyelesaikan revolusi sosial dan ekonomi mulai pada bulan Februari.

Proudhon memilih menentang konstitusi baru disetujui oleh Majelis pada bulan November 1848, tidak hanya di tanah anarkis bahwa itu adalah sebuah konstitusi, tetapi juga karena memberikan kekuasaan terlalu banyak kepada presiden. Proudhon percaya bahwa dengan kekuasaan besar seperti presiden akan menjadi tidak lebih dari sebuah bentuk yang terpilih secara demokratis kediktatoran pribadi.

Acara berikutnya adalah untuk membuktikan bahwa dia benar. Pada tanggal 2 Desember 1851, Louis Napoleon Bonaparte, presiden terpilih pada Desember 1848, merebut kekuasaan dalam kudeta. Tindakannya telah disetujui oleh mayoritas dalam referendum nasional. Pada saat itu Proudhon di dalam penjara karena telah menyerang Bonaparte sebagai personifikasi reaksi. Dari awal kenaikan Bonaparte berkuasa pada 1848, Proudhon telah mengecam dia sebagai musuh terbesar demokrasi dan sosialisme.

Dalam menghadapi reaksi semua tapi kemenangan, Proudhon telah semakin datang sampai sedang sikap politiknya. Dia datang untuk mendukung konstitusi yang sebelumnya memilih menentang, dan melihatnya sebagai salah satu pengamanan terakhir melawan kediktatoran. Dia membela hak pilih universal terhadap keberhasilan upaya hak untuk mengebiri dengan disenfranchising sekitar tiga juta didominasi kelas pekerja pemilih. Dia disukai parlementarisme atas tindakan langsung, menentang pemberontakan sebagai tidak konsisten dengan dukungan untuk konstitusi. Dia menjalin aliansi elektoral dengan anggota lain dari rekonsiliasi kiri dan berkhotbah kelas. Dia membuat kompromi setelah kompromi, semua sia-sia sebagai raksasa reaksi melanjutkan untuk menghancurkan setiap keuntungan yang dibuat oleh para pekerja dalam Revolusi Februari.

Sendiri hewan peliharaan Proudhon proyek untuk reformasi, Bank Rakyat, berakhir dengan kegagalan. Tidak dapat mendapatkan sponsor dari pemerintah, Proudhon mencari dana yang diperlukan melalui berlangganan sukarela, sebuah metode yang setidaknya memiliki keunggulan yang lebih konsisten dengan diri-Nya diakui anarkisme. Serius bawah dikapitalisasi, Bank dilikuidasi oleh Proudhon setelah keyakinannya untuk hasutan Maret 1849, seolah-olah untuk mencegahnya jatuh ke tangan pihak berwenang.

Proudhon mulai melayani tiga tahun hukuman penjara pada bulan Juni 1849, setelah telah dikhianati ke polisi oleh seorang informan. Masa jabatannya penjara adalah menjadi intelektual sangat produktif. Dia menulis analisis klasiknya dari Revolusi 1848, Confessions of Revolusioner, dan terus memberikan kontribusi untuk berbagai surat kabar di bawah arahan pribadinya, memungkinkan dia untuk terlibat dalam polemik berjalan dengan lawan-lawan politiknya, meskipun penahanannya. Pada bulan Oktober 1850, lalu kertas yang masih hidup ditindas.

Ini adalah latar belakang inilah Ide Jenderal Revolusi harus dibaca. Hal ini sangat banyak produk dari waktu, berurusan dengan masalah-masalah mendesak dari zaman Proudhon. Meskipun didedikasikan untuk kaum borjuis ('orang bisnis' dalam terjemahan Robinson), itu sebanyak diarahkan ke rekan revolusioner Proudhon untuk orang lain. Diterbitkan pada bulan Juli 1851, dengan cepat terjual habis edisi pertama 3.000 eksemplar. Edisi kedua dicetak yang Agustus. Proudhon hampir satu tahun masa hukuman di penjara yang tersisa untuk melayani.

Ada sejumlah tema penting berjalan melalui buku. Dedikasi untuk borjuasi menegaskan kembali kekhawatiran Proudhon dengan rekonsiliasi kelas. Ini juga menggambarkan keengganan untuk revolusi kekerasan. Dengan memenangkan dukungan kaum borjuasi dengan penyebab revolusioner, Proudhon berharap untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut.

Salah satu argumen utamanya adalah bahwa tidak hanya ada alasan yang cukup untuk revolusi, maka hampir suatu keharusan sejarah. Untuk menolak untuk memeluk revolusi akan sama sia-sia karena akan menjadi tercela. Upaya untuk menghentikan kemajuan revolusi hanya berhasil membuat revolusi lebih sadar akan dirinya sendiri. Proudhon menggambarkan kekuatan reaksi sebagai harus resor untuk langkah-langkah lebih dan lebih putus asa dan brutal karena mereka sia-sia mencoba untuk mencegah kemenangan revolusioner. Seseorang tidak bisa tidak berpikir bahwa ini adalah sebanyak dimaksudkan untuk menginspirasi kaum revolusioner bersemangat setelah serangkaian panjang kekalahan seperti yang seharusnya menjadi peringatan bagi kaum borjuis.

Proudhon sangat berkepentingan untuk membujuk kaum revolusioner sesama untuk merangkul penyebab revolusi sosial. Dia berulang kali menekankan dasar ekonomi yang mendasari kerusuhan saat ini. Ini adalah sistem kapitalis yang eksploitatif dan kacau yang membuat pemerintah yang diperlukan. Tugas kaum revolusioner, karena itu, bukan untuk menggulingkan tatanan politik yang sudah ada tetapi untuk mengubah basis ekonomi masyarakat. Setelah selesai, pemerintah, yang Proudhon menganggap sebagai tidak lebih dari sebuah pemaksaan otoriter, akan telah diberikan berlebihan.

Meskipun mencari untuk lembaga pemerintah untuk memulai reformasi ekonomi yang diperlukan, Proudhon masih bisa mengklaim sebagai seorang anarkis karena hasil akhir akan menjadi pembubaran pemerintah dalam organisasi ekonomi rasional masyarakat. Apakah ini organisasi ekonomi tidak sendiri bentuk pemerintahan adalah pertanyaan yang kita akan kembali.

Meskipun Proudhon tidak bergeming dari meminta bantuan pemerintah dalam mencapai perubahan ekonomi, keseluruhan program revolusionernya adalah jelas demokratis, anti-otoriter dan decentralistic. Dia lagi menganjurkan bahwa Bank of Prancis diubah menjadi Bank of Exchange, tetapi menegaskan, seperti sebelumnya, bahwa itu akan berubah menjadi sebuah lembaga pemerintahan sendiri yang demokratis bukannya diubah menjadi monopoli milik negara dan terkendali. Demikian pula, ia mengusulkan bahwa pekerjaan umum, kereta api dan skala besar perusahaan industri diserahkan kepada para pekerja sendiri yang akan dikelola dan dikontrol oleh asosiasi mereka sendiri demokratis. Dia conceives masyarakat sosialis masa depan sebagai terdiri dari berbagai pemerintahan sendiri, organisasi langsung demokratis, dari perkampungan ke perguruan tinggi guru, tanpa otoritas pusat di atas mereka.

Tapi itu adalah masyarakat dari mana persaingan, pembagian harta dan tenaga kerja swasta tidak akan dikonsolidasi telah dieliminasi. Proudhon percaya bahwa kekayaan sekali yang menyamakan kedudukan dan kredit bebas tersedia, persaingan hanya akan memiliki efek yang menguntungkan. Dengan penghapusan bentuk sewa, bunga dan pendapatan lain yang belum merupakan pendapatan, properti akan memberikan dasar untuk kemerdekaan dan kemakmuran bukan eksploitasi dan kemiskinan. Efek buruk dari pembagian kerja dapat dihindari melalui pelatihan Polytechnical dan rotasi pekerjaan dalam perusahaan industri.

Tengah untuk skema ekonomi Proudhon adalah konsepnya mengenai pertukaran setara. Terkait Dengan gagasan pertukaran setara adalah idenya kontrak. Kontrak individual pertukaran setara, tanpa paksaan, adalah mengganti semua lembaga pemerintah dan hubungan koersif. Hanya mereka yang kewajiban individu sendiri telah bebas diasumsikan memiliki kekuatan mengikat.

Sepanjang buku Proudhon menekankan pada sifat revolusioner kontra pemerintah semua. Dia mencela kontrak sosial Rousseau sebagai penipuan bengis. Dengan cara anarkis benar ia menyerukan penghapusan segera dari sistem hukum, mencela penjara sebagai 'sarang kekerasan, dan rel melawan agama sebagai sumber abadi perbudakan dan eksploitasi.

Muslim Anarchist Charter

Piagam Muslim Anarkis yang  berbunyi :
  1. Tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusannya;
  2. Tujuan dari hidup ialah untuk membangun sebuah hubungan kasih yang damai dengan Yang Maha Esa melalui pemahaman untuk bertindak sesuai ajaran,wahyu, serta tanda-tandanya di dalam Penciptaannya juga hati manusia;
  3.  Demi tujuan seperti itu kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk mempelajarinya dengan kehendak hati yang bebas, dan secara sadar menolak  setiap bentuk kompromi dengan institusi kekuasaan, entah dalam bentuknya yang yuridis, relijius, sosial, korporatik maupun politis;
  4.  Demi tujuan seperti itu kita harus aktif di dalam kegiatan merealisasikankeadilan yang bertujuan untuk membangun sebuah komunitas-komunitas danmasyarakat dimana pembangunan jiwa yang spiritual tidak terbatasi lagi olehkemiskinan, tirani, dan ketidakpedulian.

PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH.

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik di pemerintah daerah. Pemerinntahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud ”Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah. 
        Kebijakan Otonomi Daerah yang tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan strategi baru yang membawa harapan dalam memasuki era reformasi, globalisasi serta perdagangan bebas. Hal-hal pokok yang menjiwai lahirnya undang-undang ini adalah demokratisasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Hal tersebut muncul oleh karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan tatanan yang lebih baik dalam sebuah  skema good governance dengan segala prinsip dasarnya.
          Pengaruh dari kebijakan otonomi daerah tersebut tentunya membawa konsekuensi logis baik positif maupun negatif terhadap sistem pemerintahan daerah itu sendiri.
PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP SISTEM PEMERINTAHAN   DAERAH
   Terdapat beberapa pengaruh Otonomi Daerah terhadap sistem pemerinntahan daerah, yaitu antara lain Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan revitalisasi institusi lokal.
1.   Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Salah satu prinsip dasar yang diamanahkan oleh UU No.32 tahun 2004 adalah dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah/Wakil secara langsung oleh masyarakat (Pilkada Langsung). Harus diakui bahwa pelaksanakaan pilkada langsung ini merupakan langkah maju dalam demokratisasi yang telah dibangun sejak era reformasi tahun 1998.
Pada awal pemberlakuannya, secara normatif, Pilkada Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, yaitu:
 Pertama, mendapatkan pemimpin (gubernur, bupati dan walikota) di daerah yang mempunyai akuntabilitas publik di tingkat lokal karena dengan pilkada langsung lembaga partai politik di tingkat nasional tidak lagi bisa menunjuk atau mengirimkan calonnya ke daerah.
Kedua, agar calon-calon pemimpin di daerah tidak hanya dipilih oleh sebagian elit partai politik tetapi ooleh rakyat di daerah secara langsung, sehingga diharapkan partisipasi masyarakat di grass root level semakin bertambah dalam menentukan pejabat public.
Ketiga, pilkada dimaksudkan untuk mengembangkan kepemimpinan dari bawah atau bottom up. Pilkada diharapkan bisa mengembalikan hak rakyat untuk menentukan langsung pemimpinnya.
Keempat, dengan pilkada diharapkan rakyat lebih banyak berpartisipasi dalam urusan politik di tingkal lokal sehingga proses demokratisasi semakin tumbuh di masyarakat. Dengan Pilkada langsung rakyat dididik untuk berpolitik yang lebih bertangggung jawab. Stabilitas politik di daerah diharapkan tercapai dan politik uang bisa dihilangkan.
Kelima, Kepala Daerah yang terpilih melalui pilkada langsung akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara Kepala Daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monoli
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaan Pilkkada Langsung ini, salah satu permasalahan yang cukup menjadi perhatian masyarakat adalah besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pilkada Langsung ini. Lebih dari ratusan milyar rupiah harus dihabiskan dalam satu kali pemilihan gubernuur secara langsung. Seperti contoh Pilkada Jawa barat memerlukan 400 milyar rupiah, dan Pilkada Jawa Timur memerlukan 425 milyar rupiah (Anshori, 2005). Tentu saja kenyataan ini menjadi polemik dalam masyarakat, baik yang pro dan kontra. Ada annggapan bahwa Pilkada langsung hanya mennghambur-hamburkan uang, dan belum ada jaminan bahwa pemimpin yang dihasilkan akan sesuai dengan harapan masyarakat. Tetapi di lain pihak, masyarakat menilai bahwa perjuangan menegakkan demokrasi dan mengharapkan partisipasi politik rakyat di tingkat bawah secara mmaksimal memang memerlukan biaya dan proses yang lama.
Selain itu, satu permasalahan krusial yang terjadi akhir-akhir ini adalah seringnya terjadi Pilkada yang berakhir dengan tindak kekerasan diantara para pendukung. Rupanya rakyat ditingkat lokal belum siap dan belum dewasa menerima jika calonnya kalah. Diantara ppilkkada langsung yang menimbulkan kerusuhan adalah pemilihan gubernur Maluku Utara, Sullawesi Selatan, dan banyak lagi kemelut setelah pemilihan Bupati dan Walikota di beberapa kabupaten/kota seperti Sikka Flores, di Medan, di Padang.
Hubungan antara Provinsi dan Kabupaten
Garis hierarki dalam pemerintahan daerah, dalam hal ini hubungan antara provinsi (Gubernur) dan kabupaten/kota (bupati/walikota), tidak tegas, malah seakan terputus. Keadaan inimenghasilkan posisi yang sulit bagi gubernur. Ketidakjelasan hierarki ini memberikan peluang bagi bupati/walikota langsung ke pemerintah pusat tanpa melalui gubernur, untuk mengurus suatu hal kepemerintahan atau pembangunan. Konsekuensi dari situasi ini adalah pekerjaan pusat bertambah, paling tidak melayani para bupati dan walikota beserta bawahannya yang keranjingan pergi ke Jakarta. Selain itu karena bupati dan walikota yang sering ke Jakarta dapat menghambat pekerjaan di daerah yang memerlukan kehadiran para bupati dan walikota.
Karena melihat tidak adanya hubungan hierarkis antara gubernur dan bupati/walikota, maka undangan gubernur yang tidak berkaitan dengan pembagian uang atau dana maka bupati/walikota cenderung meminta kepada Sekretaris daerah untuk mewakilinya. Sehingga kedudukan gubernur sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah sulit untuk dimainkan. Untuk melaksanakan suatu kebijakan pemerintah pusat, misalnya, gubernur tidak bisa memperoleh respon langsung dari kabupaten dan kota, sebab bupati atau walikota sebagai pembuat suatu kebijakan kabupaten dan kota diwakili oleh pejabat lain. Tidak sedikit gubernur menghadapi tantangan dari bupati/walikota yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah pusat yang dipikulkan kepada gubernur.
Tidak hanya itu, suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh gubernur tidak punya kekuatan mengikat terhadap kabupaten untuk melaksanakannya. Disamping itu tidak ada pula sanksi yang bisa diberikan oleh provinsi kepada bupati/walikota ketika tidak melaksanakan kebijakan gubernur.
Sebagai ilustrasi betapa otonomi daerah berdampak negatip terhadap hubungan antara gubernur dengan bupati dan walikota, hal ini digambarkan salah satu contoh kasus sebagai berikut:
Mbalelonya Bupati Mentawai
Dalam suatu wawancara dengan salah seorang asisten di Provinsi Sumatera Barat tentang hubungan antara gubernur dengan walikota/bupati, sang asisten menggambarkannya sebagai berikut : ”Pada masa otonomi daerah ini, provinsi tidak punya kuasa pada kabupaten dan kota. Apa yang telah diputuskan oleh gubernur, kabupaten bisa saja tidak melaksanakannya. Misalnya ketika Kabupaten Mentawai mengusulkan tiga nama untuk dipilih menjadi sekretaris daerah (Sekda) dan gubernur memilih serta menetapkan salah satu calon usulan sebagai sekda melalui surat keputusan (SK). Ketika SK tersebut telah sampai di kabupaten, ternyata nama tersebut tidak sesuai dengan selera bupati. Sehingga bupati tidak pernah melantiknya, malahan bupati mengangkat pelaksana tugas (plt) sekda melalui SK bupati. Karena melihat situasi seperti itu, gubernur menyurati sampai tiga kali agar bupati melaksanakan keputusan gubernur tersebut, namun tidak ditanggapi oleh bupati sehingga menjadi temuan inspektorat. Meskipun telah menjadi temuan, tetap saja bupati tidak melantik sekda sesuai SK gubernur.”

Hubungan antara Eksekutif dan Legislatif
Hubungan antara eksekutif dan legislatif memasuki suasana baru di era otonomi daerah, setelah adanya amandemen UUD 1945. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah menciptakan bandul perubahan dari lembaga legislatif sebagai ”tukang stempel” berdasarkan UU No.5 tahun 1974 menjadi ”lembaga super hebat”. Perubahan dari executive heavy menjadi legislative heavy telah membuat lembaga legislatif arogan, mementingkan diri dan koruptif. Keadaan ini menjadi masukan untuk merevisi undang-undang pemerintahan daerah.
Selanjutnya bandul perubahanpun terjadi ketika UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diimplementasikan. Bila neraca heavy pada masa dua undang-undang pemerintahan yang berbeda (1974 dan 1999) terletak pada dua kutub ekstrim yang berbeda, yaitu UU No.1974 lebih executive heavy dan UU No.22 tahun 1999 lebih Legislative heavy; maka UU No.32 tahun 2004 terletak pada sisi tengah dari dua kutub ekstrim. Hal ini bisa dipahami karena kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat, seperti halnya legislatif. Meskipun bandulnya di tengah, namun bukan berarti tidak ada masalah dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif, terutama berkaitan dengan konflik kepentingan terhadap kebijakan yang memerlukan peraturan daerah (Perda) atau persetujuan DPRD seperti SOTK, APBD, dan lain sebagainya.
Raja Lokal
Otonomi Daerah telah menempatkan bupati/walikota sebagai raja lokal. Otonomi daerah telah memberikan bupati/walikota suatu kuasa yang cukup besar tanpa ada kontrol yang ketat dari pihak lain, kecuali jika ada temuan. DPRD yang diharapkan sebagai lembaga yang mengontrol perilaku top eksekutif, alih-alih mengontrol eksekutif, malah ”ketergantungan” pada eksekutif yang terjadi, terutama berkaitan dengan fasilitas dan keuangan. Hal ini justru melahirkan berbagai bentuk korupsi, sehingga muncul istilah ”Korupsi Berjamaah”. Misalnya korupsi yang terjadi antara DPRD Sumatera Barat beserta gubernurnya dalam penyusunan APBD tahun 2001-2002, Korupsi Awang Faruk di Pemerintahan Kabupaten Kutai Timur, korupsi antara mantan Walikota Semarang dan Legislatif dalam bentuk asuransi fiktif dan dana pendidikan dan lain sebagainya.
Lukisan kasus dibawah ini menggambarkan betapa otonomi daerah juga membuka ruang terjadinya korupsi berjamaah yang melibatkan eksekutif dan legislatif, misalnya digambarkan sebagai berikut:
”Korupsi Mantan Walikota & DPRD Semarang” [3]
Semarang-Berhenti menjabat, tak berarti semua persoalan selesai. Dugaan korupsi mantan Walikota Sukawi Sutarip dan eks DPRD pada anggaran asuransi fiktif dan dana pendidikan APBD 2004 senilai 11,27 milyar segera di proses. Kepastian pemrosesan dua kasus itu terungkap ketika sejumlah orang yang terdiri dari pattiro (Pusat Analisis dan Telaah Regional) dan Komsa (Komunitas Mahasiswa Anti Korupsi) beraudiensi dengan Kejaksaan Negeri Semarang, Jl.Abdurrahman Saleh, Selasa (15/3/2005).
Puluhan delegasi itu ditemui langsung Kepala Kejaksaan Negeri Soedibyo dan beberapa stafnya. Mereka kemudian berdialog di ruang aula kejari. Dalam dialog itu massa mempertanyakan dua kasus yang tak jelas arahnya. ”Untuk kasus asuransi fiktif sudah P-21, Kami ntinggal menunggu pelimpahan dari Polwiltabes, sedangkan untuk kasus dana pendidikan, besok kita akan pra-ekspos ke Kejati. Tidak usah khawatir, semuanya pasti akan kita proses,” jelas Soedibyo.
Untuk kasus asuransi fiktif senilai 1,27 milyar, orang-orang yang terlibat adalah orang-orang lagislatif kota semarang periode 1999-2004. Sedangkan untuk kasus dana pendidikan 10 milyar, baik mantan legislatif maupun mantan walikota semarang diindikasikan terlibat. Dalam kasus dana p[endidikan, dana dialirkan ke DPC PDI-P sebelum diberikan kepada anak-anak sekolah.’Modus operandi seperti itu yang rawan penyelewengan. Kami akan menjelaskan kasus ini ke Kejati sebelum memprosesnya secara hukum,” kata Soedibyo.
Setelah mendengar penjelasan Soedibyo, massa yang dipimpin direktur Pattiro Susana Dewi R memberikan dua tikus hitam. Tanpa ragu-ragu Soedibyo pun menerimanya. Susana mengatakan ”ini sebagai tanda dua koruptor yang menggerogoti uang rakyat yang harus diusut”. Setelah puas berdialog dan memberi ”tanda mata” bagi Kejari, massa meninggalkan kantor Kejari pukul 11.30 WIB. Mereka berjanji akan terus mengawal dua kasus yang meresahkan warga semarang (Sumber: detikNews Selasa, 15 Maret 2005).
Konflik Batas Wilayah
Persoalan lain yang muncul sebagai dampak negatip dari otonomi daerah adalah konflik mengenai tapal batas antar daerah. Otonomi daerah menuntut kesiapan dari setiap daerah Kabupaten/kota untuk memformat kembali strategi pembangunan dan pemberdayaan segala potensi daerahnya. Salah satu potensi daerah tersebut adalah mengenai wilayah sumber daya alam. Dengan lahirnya otonomi daerah tersebut para kepala daerah mulai menoleh dan menata kembali batas-batas wilayahnya, yang mana hal ini juga memunculkan terjadinya konflik horizontal dan sengketa yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Konflik juga muncul akibat banyaknya pemekaran daerah, Misalnya sengketa batas wilayah antara Kabupaten Lubuk Basung dengan Kota Bukittinggi di provinsi Sumatera Barat yang sebelumnya kedua daerah tersebut merupakan satu kabupaten.
C. PENUTUP
          Otonomi daerah telah memberi pengaruh positip dan negatip terhadap sistem pemerintahan daerah. Adapun pengaruh positip dan negatip dari otonomi daerah tersebut antara lain pemilihan kepala daerah langsung, hubungan antara provinsi dengan kabupaten/kota, hubungan antara eksekutif dan legislatif, distorsi putera daerah, dan kemunculan raja lokal, serta timbulnya konflik batas wilayah.
”Mengeluarkan suatu kebijakan ibarat melemparkan batu kedalam air, pasti akan menimbulkan riak, namun riaknya air akan hilang ketika batu telah sampai kepada dasar atau kedalaman tertentu.” Begitu juga kebijakan otonomi daerah yang menimbulkan pro dan kontra sebagai suatu konsekuensi logis yang harus disikapi oleh seluruh masyarakat menuju proses pendewasaan bangsa.